Ini, Bapa

Bapa hampir selalu menjemput dan mengantarku sekolah, mulai dari aku TK sampai aku SMU. Sempat terputus saat aku SD hingga separuh SMP karena ada Dunan dan Hiu yang menemaniku, juga karena kesibukan Bapa yang mempersiapkan mutasi kerja.

Waktu masih TK, aku sering mencubiti Bapa sepulang sekolah, karena Bapa tak mau membelikan aku kue πŸ˜† Hihihi, usil anak tengil. Aku baru saja paham, bahwa Bapa benar-benar tak punya uang. Semua uang gaji diserahkan kepada Mamak, dengan jumlah yang terbatas dan harus diatur benar demi kepul asap dapur dan biaya sekolah kami berempat.

image

Hebatnya, Bapa tak pernah marah ataupun membalas cubitanku. Malu sekali rasanya, dengan diriku sekarang, yang kadang tak sabaran dengan perilaku Moldy :oops:. Bapa sabar sekali. Padahal Bapa bilang, masa kecilnya sering dilewatkan dengan pukulan karena kesalahan sepele, tapi Bapa tak pernah mengulang kesalahan yang sama pada anak-anaknya 😫

Bapa juga menemaniku bermain di teras bersama teman-teman kecilku, sambil membaca koran. Saat ada ibu-ibu melabrak seorang temanku, Bapa hanya diam sambil tersenyum kecil. Aku tak paham, kenapa Bapa tak ikut menengahi anak-anak yang dilabrak oleh emak-emak. Aku memandang Bapa, memohon mediasi, kasihan temanku, tapi Bapa hanya tersenyum simpul sambil melanjutkan baca korannya. Ternyata Bapa memang tak mau rame dengan orang tak ‘selevel’, hehehe, membiarkan kami menyelesaikan masalah sendiri tanpa harus melibatkan orang tua.

Saat karirnya menanjak, Bapa tak pernah membanggakannya di depanku. Biasa saja, tetap menjadi ayah yang kukenal, yang mengantar jemput dan menjadi teman diskusi yang asyik. Teman-temanku sempat heboh, saat Bapa diwawancarai atas nama jabatannya, di sebuah radio lokal. Aku merasa rikuh dan tak terlalu peduli πŸ˜†, apa pentingnya sih numpang beken. Bapa menunjukkan bahwa, jabatan setinggi apapun tak pernah membuat beliau lalai tugas utamanya. Menjemputku pulang sekolah, hehehe…

Bapa kemudian turun pangkat dan pensiun, saat aku mulai kuliah. Keadaan begitu jungkir balik, aku bisa maklum, tak terlalu terbawa euphoria jaman keemasan Bapa. Meski secara ekonomi agak sulit, di sisi lain aku agak senang. Aku tak perlu was-was dengan cerita penjegalan, surat kaleng, pertikaian, hingga huru hara yang sering dihadapi Bapa. Alhamdulillah, tak sampai ada korban jiwa, dan hal itu adalah salah satu yang membuatku bertekad bulat, aku tak ingin menjadi pegawai negeri ;). Kata-kata ini sudah lama ingin kuucapkan, menunggu usiaku mencapai 35, yang tak memungkinkan lagi melamarnya. Setiap saat, semenjak lulus kuliah, Mamak selalu menyarankan anak-anaknya melamar menjadi PNS, tentu dengan membawa katebelece dari Bapa. Aku tak pernah mau dan aku menahan diri supaya tak malati. Akhirnya, fiuuh, usia wajib itu terlewati juga πŸ˜‰

Bapa mau lho, menggendongku yang saat itu sudah abege, menangis pagi-pagi tak mau sekolah. Aku lupa kenapa aku mogok 😯
“Yuk, Bapa antar sekolah,” kata Bapa dengan sigap, membopongku yang sedang meringkuk terisak di bawah meja.
Bapa juga pernah menggendongku saat aku sudah kuliah. Aku kena gejala tipus, ketiduran di kursi tamu. Rasanya sakit sekali malam itu, aku terisak tertahan, agar tak membangunkan yang lain. Rintihanku di sekitar jam 1 pagi itu terdengar Bapa. Bapa bangun lalu menggendongku masuk ke dalam kamar.

Saat aku yang masih bekerja, masih hijau soal pengalaman mengasuh anak, malam-malam menangis bersama Moldy. Moldy yang mungkin frustasi dengan dunia sunyinya dan aku yang tak tahu harus bagaimana saat Moldy membantingkan kepalanya ke tembok. Sementara untuk terus menggendong, aku sudah cape sekali. Bapa bangun, tanpa babibu, menggendong Moldy hingga dia terlelap kembali.

1-2 tahun lalu, saat Moldy terapi di Lawang, Bapa masih memaksakan diri mengantar kami. Bapa, di usianya yang sudah melewati tujuh dekade. Sebagian tangannya sudah menghitam karena sengat matahari dan mulai keriput oleh usia, dengan banyak garis senyum di mata dan sudut bibirnya.
“Pa, kalau cape, aku bisa naik angkot sama Moldy, Bapa istirahat aja.”
“Gapapa, Bapa masih kuat kok,” paksanya.
Saat memang Bapa tak bisa, masih sempat Bapa memastikan kami baik-baik aja.
“Gapapa ya, Bapa ada urusan, jadi gak bisa antar kalian sampai tempat.”
Aku yang malu sebenarnya, sampai beranak pinak begini masih merepotkan ortu. Sambil terkantuk-kantuk, Bapa menungguiku dan Moldy terapi. Tak ada penyesalan, amarah sindiran, ataupun keluhan. Bahkan Bapa sering menolak jika aku menawarkan makan di jalan. Bapa memang tak terbiasa makan di luar, dan tak mau terlalu menadah pada anak-anaknya.

Jika aku mengeluh berlebihan, aku cukup mengingat Bapa sebagai pengerem kekufuranku. Bapa yang setia dengan kesederhanaan dan kesabarannya. Hidup Bapa pernah sangat sulit, tapi beliau tak pernah membandingkan itu semua dengan kesulitanku. Bapa menyempurnakan wejangannya dengan menyelipkan petuah agama atau kisah lucu yang membuatku tersenyum.

Aku tak tahu Bapa akan tetap tersenyum hingga usia berapa. Kerutan di sisi pengelihatannya semakin tegas. Apakah Bapa dulu, atau aku dulu yang mengantri keabadian, itu rahasia ilahi. Itu soal waktu saja, entah kami siap atau tidak. Terpenting dari semua itu, bahwa aku sudah ‘menyelesaikan’ amarahku pada Bapa, inshaallah dan semoga sudah tak akan ada lagi. Kuharap demikian. Seperti yang sudah ditetapkan dalam Alquran, bahwa aku pun tak akan pernah sanggup membalas jasa orang tua. Tak secuilpun πŸ˜₯

Semoga ibadah yang dilakukan Bapa banyak tersaring yang terbaik, demi beratnya amalan saat hisab nanti. Doaku untuk Bapa yang benar-benar meneladankan padaku apa arti bersabar dan menahan diri.

☺☺☺

Gambar dari sini

4 thoughts on “Ini, Bapa

  1. Aku juga kalau sekolah diantar dan dijemput Bapak, setidaknya sampai aku kelas 1 SMA. Semoga seluruh Bapak di dunia ini selalu diberi kebahagiaan, ya, seperti apa yang beliau lakukan kepada keluarganya.

    Like

Leave a comment