Bully (3): (Jangan) Abaikan!

Jadi anak bungsu yang selalu dikekep Mamak sampai mau kuliah, berbekal wajah culun yang sering dibilang mirip orang-orang jelek, dibully adalah hal yang sering saya alami. Jadi kuat? Relatif sih, mewekan iya πŸ˜‚ Begitu anak-anak sendiri mengalami masa dibully, rasanya antara jengkel perasaan sebagai induk tapi juga berusaha cuek.

Baca:Β Bully: Bukan Pilihan

Mereka akan bisa melaluinya, inshaallah. Semoga πŸ’ͺ

Mengutip dariΒ situs halopsikolog, bully diartikan sebagai perilaku agresif dari pihak dominan kepada pihak yang lemah, dengan tujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang. Bentuknya bisa verbal, fisik, atau gabungan keduanya.

Mengingat budaya masyarakat Indonesia yang cenderung having fun dan menggampangkan masalah, kadang taksa juga ya, mana yang bercanda mana yang niat menyakiti πŸ˜‰ Karakter anak juga berpengaruh. Anak yang santai, jelas tak ada beban menanggapi ejekan teman-temannya. Anak yang peka, yang gampang nangis, apa-apa bisa jadi beban.

Di masa awal sekolahnya yang baru, Shena pulang sekolah dengan cemberut, bahkan sering menangis, pengen pindah sekolah, merasa temannya jahat semua. Perbedaan iklim sekolah dari TK yang ustadzahnya perhatian dan tak terlalu academic-minded, menuju ke SD yang gurunya mesti membagi perhatian dengan puluhan anak serta beban target akademis.

Penyebab dia menangis adalah, sering diejek teman-temannya. Shena itu sensitif. Sejak belum genap berusia setahun pun dia sering mewek, kalau tak sengaja dibentak atau diabaikan πŸ˜‘ Ejekan dari temannya beragam sih, seperti soal nama, nilai jelek, gambar jelek, uang saku sedikit, aah gitu deh, anak-anak πŸ˜‚ Yang agak lama dan berulang seperti ini misalnya,

“Aku mau ganti nama,” protesnya.

“Kenapa?”

“Aku selalu diejek dengan nama ini, huaaa…”

“Mau ganti nama apa?”

“Sinta.”

“Sintal.”

“Devi.”

“Deviasi.”

“Mira.”

“Mirasantika. Miras. Apapun namanya,” tukas saya sambil menyanyi πŸ˜‚

Terus begitu sampai berhari-hari tiap kali dia menyebutkan nama, saya sebutkan ejekannya.

“Kenapa sih Bubun selalu tahu nama ejekannya?”

“Mau namamu apa aja, temenmu tetep akan selalu nemu nama ejekannya. Jadi udahlah, cuekin aja, nanti mereka juga cape sendiri.”

Kita semua pasti mengalami masa ini kan? Masa mengejek nama, bahkan mengejek nama orang tua. Sepandai apapun cara kita menyembunyikan, selalu aja kalah cerdik dengan semangat anak-anak yang pantang menyerah mencari tahu dan siap membully πŸ˜‰

Saya ceritakan juga sama Shena, nama ejekan yang pernah saya dapat dari teman-teman. Es teh, estikus, dibilang kayak nama babu, mbah e, osrok, mami, duh…banyak πŸ˜„

Baca:Β Mbah e

Bapa dulu bilang, kalau ada orang yang mengejekmu, itu adalah tanda bahwa dia perhatian. Saat itu saya belum paham sih, perhatian macam apa pula yang disampaikan dengan ejekan berulang dan bikin jengkel. Tentang perhatian itu bener kan, bagaimana bisa orang memberikan ejekan jika dia tidak terlebih dahulu memperhatikan yang diejek πŸ˜‰ Entah kapan dan bagaimana berakhirnya, tapi jadinya lebih santai karena ada dukungan dari orang tua yang selalu siap menampung keluh kesah saya.

Tak masalah apapun ejekannya, tapi orang tua mesti siap telinga. Tarik ulur juga, kadang perlu cuek, kadang perlu ngobrol panjang lebar menjelaskan jika anaknya tertekan banget seperti Shena. Ejekan sepele buat kita belum tentu sepele buat anak ya. Kan karakter dan kekuatan tiap anak beda ☺

Mumpung bully-nya masih dalam skala kecil, belum serius (semoga jangan sampai), versi saya begini:

πŸ’£ Anak curhat, didengarkan biar dia lega. Sekiranya perlu, ditanggapi dan dijelaskan dia harus bagaimana. Kita juga mesti bisa memilah mana juga yang perlu dicuekin, hehehe…

πŸ’£ Kenali beberapa temannya dan ambil contoh 1-2 anak yang lemah, semisal secara akademis. Ada temannya Shena yang belum bisa baca dan dia cuek. Terlepas dari soal apakah si teman itu dibully atau tidak, itu sebagai titik tolak yang mendongkrak percaya dirinya, bahwa Shena bisa membaca dan menulis dengan baik.

πŸ’£ Libatkan peran orang lain, yang dekat dengannya, ikut membahas atau memberikan saran. Nasehat yang saya berikan, kurang lebih sama dengan nasehat yang diberikan ayahnya. Eh lha, tanggapan dia beda. Dia lebih pede dan manut kalau ayahnya yang ngasi saran 😴 Ya sudah, alhamdulillah ada partner mikir πŸ˜‰

πŸ’£ Kenali dan ingatkan beberapa kebaikan tentang temannya, biar anak tidak juthek melulu. Kembali soal budaya tadi. Meski di keluarga sendiri tak biasa ejekan berlebihan, dia mesti tahu budaya keluarga lain beda. Kadang tak semuanya niat jelek, bisa juga tanda keakraban ☺

πŸ’£ Manfaatkan waktu libur, ya untuk liburan, meski cuma main ke Taman Bungkul, Taman Flora, alun-alun, atau sekadar ke pasar malam beli jajan dan naik kereta kelinci. Biar beban lepas, gak stress, lupa sedih πŸ˜‰

πŸ’£ Jika mentok kebingungan, andalkan doa.

Orang tua tak bisa melindungi anaknya setiap saat kan, namun orang tua wajib memberikan teladan dan pemahaman, tentang bagaimana melaluinya. Semua ini dengan catatan, bukan bully yang serius yang bikin anak mogok sekolah, sakit, atau stress. Jika berlebihan, memang harus dibicarakan dengan pihak sekolah.

Oya, sedikit catatan tambahan. Shena melaksanakan semua anjuran dari kami dan dia mulai berusaha mencari solusi masalahnya sendiri. Tak hanya itu, dia juga berinisiatif membela temannya yang dibully secara fisik dan sangat parah 😒 Ini lebih serius. Meski masalah tak sanggup dia kaver sepenuhnya, paling tidak dia punya sikap πŸ‘. Temannya pindah sekolah, karena orang tua merasa sekolah tak memberikan penanganan yang tepat dan sesuai.

Sekian catatan hari kedua, semoga bermanfaat πŸ˜‰

πŸ’šπŸ’š

One day one post, hari kedua

#SatuHariSatuKaryaIIDN

Gambar dariΒ sini

Leave a comment