Mengatasi Perseteruan Antar Saudara

Beda usia antara Moldy dan Shena hanya setahun lebih sedikit. Hampir mendekati kembar ya 😉. Shena yang doyan makan bahkan tumbuh membesar melampaui Moldy, yang memang susah makan sejak kecil. 

Saat mereka bertengkar, awalnya sempat panik juga. Moldy kan berkebutuhan khusus, ada sedikit permakluman. Shena, perempuan dan lebih muda. Meski terkadang sudah tahu siapa yang salah, tetap aja cap cip cup bingung mesti gimana 😁

Pengennya, kami mendidik Moldy senormal mungkin. Salah ya salah, jangan sampai berbelas kasih atas nama kekhususannya. Kecuali masalah komunikasi, dia sama aja kok dengan kami semua. Pengennya juga, Shena jangan terus merasa dibelain yang membuatnya tak tahu bagaimana bersikap saat kesulitan di luar sana. 

Kebingungan kami sebetulnya cukup lama. Hampir semua nasehat pengasuhan menawarkan cara-cara yang sangat normatif, kurang realistis dan kebanyakan hanya tentang anak normal 😯

Baca: Menuntut Shena

Dari hasil membaca berita selebritis di koran, saya menyontek tips dari Widi ABThree yang cukup kompak dengan suaminya, Dwi Sasono, dalam membesarkan ketiga buah hati mereka. Ketika bertikai, anak-anak dibiarkan, tak usah dilerai, biarkan mereka mengatasi masalah mereka sendiri. 

Sepintas nampak ‘kejam’ ya 😉. Moldy dengan kekuatan seorang anak lelaki dan belum terlalu paham baik buruk. Shena, perempuan yang lemah gemulai dan tidak bisa terlalu galak. Namun semakin minim intervensi dari pihak luar, semakin mereka tahu harus bagaimana. Semacam manajemen konflik yang sederhana 😉

Dengan agak ragu, agak yakin, demi masa depan, saya biarkan mereka bertikai, tak melerai. Sekali dua kali mereka masih lapor diperlakukan bagaimana oleh saudaranya, dan saya pasang wajah lempeng.

“Selesaikan sendiri!”

😊😊

Setelah berkali-kali begitu, Shena mulai berani melawan balik jika merasa terpojok. Jika saya rasa berlebihan, tetep dong, gak tega, mesti turun tangan juga. Cara yang paling konyol adalah dengan berlari menjauh, mematikan lampu, atau apapun yang heboh yang membuat perhatian mereka teralih 😂 


Maunya normatif, menjelaskan boleh dan tidak boleh, tapi dengan mata melotot dan amarah yang siap menggelegak, lhadalah tiba-tiba mereka ketawa ketiwi bersama 😑 Kemudian, hilanglah kesalahan satu menit lalu. Sudah, tanpa mediasi, rukun, main kembali.
Bagaimana, kita yang dewasa, belum tentu bisa kayak gitu kan? 😉 Dongkol soal sepele bisa dibawa berbulan-bulan, seraya menulis dalam warna merah ‘kutandai kau’ 😄
Kalau saya terlalu keras dengan aturan untuk Moldy, Shena juga yang memohon agar saya melunak. Sebaliknya, jika saya kebanyakan ngomel ke Shena, gantian Moldy yang mengingatkan saya ☺

Saya percaya, manusia fitrahnya baik, lingkungan serta pola asuh punya peran penting dalam membentuk sikapnya. Dalam khasanah pertikaian antar saudara, pertikaian di masa anak dalam tahap ego awal begini, termasuk paling wajar, lebih mudah ditangani jika dibandingkan saat mereka lebih besar.
Naluri sebagai ibu, yang harus diasah setajam mungkin, bahwa ibu mesti berusaha seadil mungkin, apalagi jika tak sempat tahu duduk perkara awalnya seperti apa. Sadar juga kan ya, ibu juga manusia yang kadang lunglai atau mentok, tak tahu harus bagaimana. Pilihan menjeda, meninggalkan arena pertikaian, juga merupakan salah satu cara menjaga kewarasan. Begitu, sedikit saya kutip dari ulasan Opa Dono ☺

Pertikaian dan konflik adalah dinamika hubungan. Pertanda hubungan yang sehat. Semua hubungan persaudaraan mengalaminya. Selama belum rumit, sikapi dengan sewajar dan sebaik-baiknya, karena saat inilah pemahaman dan pengetahuan kita sebagai orang tua diuji.

Anda yang beranak lebih banyak daripada saya, tentunya jauh lebih mahir dalam mengatasi seteru antar anak-anak 😉 Boleh dong, bagi ilmunya…

One day one post, hari keduabelas 💪#SatuHariSatuKaryaIIDN

7 thoughts on “Mengatasi Perseteruan Antar Saudara

  1. Yang jelas levih banyak anak potensi pertikaian lebih besar yes. Hiks… Apalagi si bontot ini suka ‘menang sendiri’. Berani gtu sama kakak2nya . Paling sering malah ngerjain Awang. Kalo sudah mulai terendus aroma pertikaian, emak bapaknya kompak paduan suara, “Muuulaiii….”. Udah kayak lauk untuk nasi gtu, dosis hari-hari. Kadang lak kesel, ta jarno wae. Kadang emak turun tangan kalo udah mulai main fisik. Biasanya malah ta marahin pihak yg diem aja waktu diserang. Kalo ga mau bales ya menjauhlah. Jangan diam pasrah saja saat diserang. Soale sing dibayangno kalo di arena per-bully-an, kalo dia diem aja kan malah jd sasaran empuk. Nanti kalo lagi kondisi damai, emaknya kasi apresiasi. Eh, semoga komennya bisa submitted ya. Belakangan kok susab komen di blog.

    Like

  2. Assalamu alaikum, salam kenal.
    BW ke blog Mak Esthy, langsung suka dengan gaya tutur tulisnya. Mengomentari postingan ini, saya dan suami termasuk tipe yang “membiarkan” saat anak berseteru. Baru turun-tangan jika kondisinya mengkhawatirkan. Sejalan dengan pertumbuhan, makain mereka besar, kontak fisik udah ga ada. Lebih pada argumen mempertahankan prinsip masing-masing. Nah, justru di situ tantangannya karena kami sbg ortu harus punya info yang mumpuni untuk jadi wasit. Dan sudah agree dg paksu, saat ‘memarahi’ anak tidak ada yang kami bela. Artinya masing-masing anak punya kontribusi kesalahan hehehe

    Like

  3. Duluu, saya dan kakak memang sering banget bertengkar, bahkan hal sepele, seperti berebut makanan atau remote tv, langsung bertengkar. Sampai ortu seperti mbak esthy gini, bingung juga. Tapi memang sih cara membiarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, efektif untuk saya dan kakak. Kalau sampai ortu membiarkan, saya dan kakak malah bingung sendiri mau bertengkar kayak gimana 😁, malah takut dibiarkan sama orangtua, lebih baik ortu ngomel – ngomel ketimbang didiamkan 😁🤣

    Like

Leave a comment