Kue Tradisional dan Kenangan

Ninih bilang, hari itu beliau akan membuat jenang. Saya, yang saat itu belum sekolah, mengikutinya ke sana kemari di pawon yang luas dan panjang. Paling ujung, tempat cuci piring, yang buangannya manual, berupa sebuah bak besar. Kalau malam, tempat ini cukup horor. Cahaya lampunya temaram, tak cukup menerangi sampai area cuci piring.

Saat Ninih berpulang ke rumah abadi, tempat inilah yang konon menjadi area pamitan Ninih. Sesuai dengan kesibukan hariannya, panci dan wajan berbunyi sendiri di tengah malam, tepat di 40 hari kepergiannya. Hiii… 😨

Kembali lagi ke area pawon. Kayu bakar, wajan besi yang sangat besar dan tebal, kompor beton dengan lubang tempat pembakaran, gula merah, santan kental dari kelapa yang baru saja diparut. Semua beraroma klasik, tanah dan hangus 😀

Sebagai bocah kecil yang hanya tahu kapan waktunya makan, saya hilir mudik menyimak betapa ribetnya pembuatan kue yang sangat lengket dan berminyak ini.

“Matangnya masih lama?” Tanya saya penasaran.

Ninih hanya tersenyum sambil terus mengaduk adonan di atas tungku, dengan sendok kayu super besar.

“Sudah tidur dulu sana,” suruhnya.

Saya manut.

Ninih memiliki sepuluh orang anak, Mamak yang kelima. Mamak punya empat anak. Tekanan industri sempat membuat ekonomi keluarga kami morat-marit, jadilah saya yang bungsu yang terpaksa mengalah, diasuh Ninih. Sebagai seorang pekerja keras, Ninih hampir tak pernah terdengar mengeluh. Beliau selalu memastikan semua orang yang dikenal dan ditemuinya mendapat upah dan logistik yang cukup. Tak heran jika Ninih sering jadi rebutan tukang becak, karena selalu memberikan upah maksimal, berupa uang, sarapan, kopi, juga rokok.

Semacam begini ya, pawon legam dan wajan super besar

Pernah saya minta kopi bikinan Ninih yang harum dan manis.

“Lho kopinya habis…” protes saya, polos.

“Hush, sudah diminum sama bapaknya,” kata Ninih berbisik agak marah.

Bapak yang dimaksud adalah bapak pengangkut sampah di kampung kami, rumah Mamak. Si bapak nampak agak tersedak mendengar saya, eh jadi tak enak 😂✌

Ninih selalu rutin bergilir mengunjungi rumah anak-anaknya. Tiap Ninih datang, si bapak ini selalu disuruh duduk dulu di teras, minum kopi sekaligus sarapan. Ninih sangat menjaga unggah ungguh kemanusiaan dan nilai Jawa. Menghargai orang lain, apapun profesinya. Ninih juga sering melakukan aktivitas subsidi silang. Anak cucunya yang mampu secara materi, selalu beliau ingatkan agar membantu kepada yang tak mampu ☺

Saya belajar banyak soal itu, belum sanggup menirunya dengan total. Oh iya, saya juga belum setua itu juga sih 😂

Beberapa saat kemudian saya bangun dan segera beranjak ke pawon. Adonan mulai mengental, tapi masih belum jadi. Seperti ikut gerah melihat kegelisahan saya menunggu, Ninih kemudian menyendokkan sebagian kecil ke atas cawan. Yeeeay, the power of kengeyelan anak-anak 😄 Saya tiup-tiup uap panasnya dengan tak sabar, ingin segera mengicip. Manisnya menyengat, teksturnya kenyal tapi mudah dikunyah, nikmat, hangat 😇

Tak hanya jenang, hampir semua kue tradisional mengandung keribetan. Sebut saja wajik, rengginang, gethuk, jadah, lopis dan seperlengkapannya, ketan bubuk, kue lapis, bubur sumsum, dan banyak lagi. Hahaha, kayaknya saya aja yang males ribet. Meski saya suka, saya suka. Ada kehangatan dan klangenan masa lampau, masa kecil, yang membuatnya terasa legit di lidah 😉

Baca: (Not) Into Cooking

Bahan utamanya hampir selalu sama. Tepung (kebanyakan ketan, beras, kanji, pokoknya yang lengket), santan/parutan kelapanya, gula merah, gula putih, garam. Sudah, rata-rata itu aja. Yang dimainkan adalah teknik pembuatannya, dengan kunci utama harus sabar dan telaten.

Dengan teksturnya yang hampir selalu lengket dan kenyal, berminyak, rasa yang sedikit gurih atau sangat manis, serta pembuatannya yang hampir selalu dalam jumlah besar, kue tradisional mengingatkan beberapa hal penting tentang kehidupan. Kehidupan yang guyub dan terikat erat. Hidup bersama harus saling berbagi. Tak masalah penampilan yang buruk atau biasa saja, tapi semua bisa ikut merasakan kenyang dan nikmatnya.

Demi males bikin tapi ingin, alhamdulillah, masih selalu ada penjual kue tradisional, versi racikan, di setiap pasar yang saya kunjungi. Kadang juga penjual keliling. Harganya murah, cuma tiga ribuan isi lengkap. Ada juga yang masih menggunakan bungkus daun pisang. Lezaaat 😍

Saya suka pizza dan beberapa jenis kudapan Italia, namun rasa nostalgik dan kehangatan kue tradisional, tetap tak tergantikan.

Bagaimana menurut anda? Apakah kita memiliki rasa sama? 😉

💚💚

One day one post, hari ketigabelas 💪

#SatuHariSatuKaryaIIDN

Ini telat ngepost 😊 tulisan #onedayonepost lainnya bisa dilihat di rubrik tantangan

Gambar dari bukalapak

2 thoughts on “Kue Tradisional dan Kenangan

Leave a comment