Emoh Sekolah

Moldy dan Shena adalah dua di antara sebagian kecil anak yang menikmati masa karantina di rumah. Mau tak mau, me time emak yang banyak terenggut, harus dipaksakan menyesuaikan diri 😁

Baca: My ‘Me Time’, Blessed and Stolen

Alasan Moldy, dia tak mau bertemu teman-teman yang mengintimidasinya. Melihat latar belakang si teman yang antara lain berasal dari keluarga broken home, saya tak bisa berbuat banyak. Tak hanya itu, Moldy seringkali berimajinasi terlalu tinggi, yang mendorongnya menyampaikan berita khayal 🤦‍♀️

Dia bilang, sedang nge-dj 🙄

Alasan Shena, dia sudah lama memohon untuk sekolah di rumah dan saya belum percaya diri untuk mengabulkannya. Lha wong ayahnya belum satu suara, kan berat. Sekolah rumah bisa menjadi tantangan yang jauh lebih berat daripada wira wiri mengantarnya sekolah 😬

Continue reading Emoh Sekolah

Obrolan Tangan (2).

“Bun, orang itu tuli juga kan?” Tanya Moldy ketika melihat seorang alumnus sekolahnya datang ke sekolah. Dia berjualan.

“Iya, sama,” jelas saya.

“Pak, apakah bapak juga tuli sepertiku? Apakah bapak juga berbahasa isyarat?” Tanya Moldy langsung, begitu antusias. Tumben dia berani 😘

Dua orang berisyarat. Mereka penduduk desa Bengkala, Bali

“Iya, aku tuli kayak kamu. Aku dulu sekolah di sini. Tahun 1987. Usiaku sekarang 53, aku sudah tua,” jelasnya panjang lebar.

“Moldy 10, bapak itu 53,” jelas saya pada Moldy yang belum terlalu paham konsep usia.

“Aku sudah tua, anakku 1, perempuan, usianya 23. Dia sudah bekerja,” jelasnya lagi.

“Anak bapak tuli juga?” Tanya saya.

“Gak, dia normal. Dia sudah kerja sekarang,” jawabnya.

🙂

Gambar dari sini

Bully (5): Berlebih

Overthought
“Besok Sabtu aku gak mau masuk!” Seru Shena, selepas tidur siang.

“Kan cuma ekstrakurikuler sebentar aja, masa mau mbolos?”

“Pokoknya gak mau masuk!” Tegasnya dengan wajah suram. Sedikit sentilan saja, pasti bisa bikin dia menangis huo huo.

“Kenapa?”

“Bukuku dicoret-coret terus sama Randi. Aku sudah lapor ke bu guru, tapi dia terus aja. Aku sudah larang, dia tetap gak mau tahu.”

“Gimana kalau kamu coret balik bukunya dan bilang kalian impas?” Usul saya.

Continue reading Bully (5): Berlebih

Reinforcement (4): Nggelar Wicara.

Biasanya datang dan duduk manis, untuk pertama kalinya gantian saya yang wira-wiri bikin acara 😀 Nego pembicara, mengajak beberapa teman Tuli dan penerjemah, menembus ke beberapa pihak sekolah, dan terakhir ngemsiin. Dengan dibantu beberapa pihak, saya cukup lega ini sudah berakhir dan cukup seneng dengan beberapa respon positif yang disampaikan ☺

Bersama ibunya Udana, Udana sendiri, Phieter, Nasta, dan Adhien; sebagai pembicara 😍

Ini hal yang baru. Sebelumnya sekolah sering juga kok mengadakan acara yang berkaitan dengan pengasuhan. Versi sekolah banyak terfokus pada penanganan kegalauan dan bagaimana cara belajar bicara yang baik.

Continue reading Reinforcement (4): Nggelar Wicara.

Touring Anjem Sekolah

“Jauh kamu bilang. Masa demi anak, kamu gak mau nyoba? Aku nih, ganti angkot berapa kali aja, apapun bakal kujalani demi anak.”

🙄😋😎

Sungguh, pertikaian paling enggak banget adalah pertikaian antar emak. Diladeni itu kok ya receh. Gak diladenin kok ya nggregetne ati. Percayalah, semua emak pasti mencoba, pasti berusaha, dengan target serta visi misinya masing-masing. Bagaimana mungkin disama-samakan. Perawakan dan pemikiran, karakter suami, jumlah anak, latar belakang ekonomi dan pendidikan, konsep diri, jenis suara, makanan kesukaan, dll. Yakin ada yang sama persis? 😁

Menepi, sebelum terjebak lalin Gedangan

Rumah saya kan di perbatasan antara Sidoarjo dan Surabaya. Moldy sekolahnya di daerah Wonokromo, Surabaya. Masalah jauh tidaknya jarak itu relatif, tergantung hidup kita menderita atau tidak. Kalau menderita itu biasa, sebagai teman dari derita-derita yang lain 😁 Kalau tidak menderita, ya itu pencapaian yang paripurna dalam membonceng Moldy yang tuli dan Shena yang dengar. Sepanjang perjalanan saya hampir tak menemui siapapun yang senasib. Kayaknya sepaket kami aja deh, yang menempuh sejauh itu dengan motor. Ups, aroma keangkuhan mulai menguar 😋

Continue reading Touring Anjem Sekolah

Antara SLB, Terapi, dan Pemerintah (2).

Tulisan seri pertama dijadikan salah satu data mengenai kebutuhan khusus, alhamdulillah. Entah mesti seneng atau gimana, karena yang dia (penulis skripsi) simpulkan kurang tepat. Moldy dianggap perempuan, dibully di sekolah umum. Padahal Moldy adalah seorang lelaki yang pernah diperlakukan tidak adil dalam pergaulan sehari-hari. Di sebuah TK umum, dialah yang dulu jadi salah satu pembully anak-anak perempuan kecil 😂✌

Baca: Antara SLB, Terapi, dan Pemerintah

Hehehe, dia belum ngerti waktu itu dan kami belum banyak tahu cara memahaminya. Ada banyak kejadian lucu. Saya yang masih panikan, dia sering bikin gara-gara, jadi saya ikutin melulu kemana pun dia melangkah. Para gadis kecil selalu lari ketakutan atau ibunya yang buruan menyelamatkan sebelum kena kejahilan Moldy 😂🙇

Suatu hari, saya berikan jajannya Moldy (karena banyak) ke seorang gadis kecil. Salahnya, saya gak minta ijin jadi Moldy merebutnya, merasa itu miliknya. Saya minta maaf sama ibunya, untung si ibu baik. Besoknya, Moldy bawa jajan lebih banyak dan dia kasikan pada si bocah yang kemarin dia sakiti. Ibunya cerita 😁 Nah kan, dia cuma jengkel, bukan jahat.

Masa menyekolahkan dia ke umum adalah masa denial, berharap dia mampu berbaur dengan mereka yang a.k.a. normal. Begitu sadar dia tak nyaman, saya mulai agak ikhlas dan mencari SLB. Siapa sangka, dia begitu bahagia ketemu sesama tuli dan langsung bersemangat sekolah ☺

Menuju empat tahun bersekolah di SLB, mulai terpetakan bagaimana suasana, masalah diskriminasi, sistem pengajaran, dan sebagainya. Ada beberapa hal yang kurang sejalan dengan hati nurani, ya lah, rasanya tak ada sekolah yang sesempurna ekspektasi semua orang. Bagaimanapun, inshaallah masih bisa dilanjutkan dengan sejumlah penyesuaian dan lapang dada ☺

Tulisan kedua ini, menyajikan kesimpulan yang sama sekali berbeda dengan tulisan pertama 😉

Continue reading Antara SLB, Terapi, dan Pemerintah (2).

Siap Mondok?

Pengen nulis tentang ini lama sekali. Ternyata udah terkumpul beberapa cerita. Bukan untuk mendiskreditkan kehidupan di pondok ya, tapi realitanya begini. Sisi lain pendidikan. Mereka digembleng dengan keras, lulus dengan predikat diakui dunia, namun tantangan yang mereka hadapi pastinya bukan main-main ☺

Ini sebagian yang pernah saya dengar, dari narasumber langsung dan cerita ortu. Jika ada kesalahan dan kebenaran, tetaplah tabayyun dengan khusnudzon. Semua orang memiliki porsinya masing-masing. Tak semua yang dihadapi orang lain, pasti kita hadapi ☺

Continue reading Siap Mondok?

Para Guru

Ini guru-guru saya. Mulai dari SD hingga kuliah. Tak semua ya, hanya beberapa yang teringat dan juga menarik untuk diceritakan 😉

👑 Bu KRN
Beliau pernah memukul kaki saya, dengan lembut. Penyebabnya, saya selalu berlari kemana-mana, jarang berjalan. Takut ditegur lagi, saya berusaha berjalan dengan menekan hentakan pegas di kedua tumit. Waaa, tersiksa sekali. Saya mulai menyadari, bahwa kalau Moldy super umek, saya pun mesti bercermin 😄

Beberapa tahun berlalu sejak pensiun, ternyata beliau masih ingat dengan saya.
“Nak, apakah kau masih menulis dengan huruf kotak?” 😳 sapanya ketika tak sengaja kami bertemu.

Hehehe, dulu saking panjangnya waktu ujian dan sedikitnya soal, saya menghias tulisan supaya selesainya lama. Lha piye, mau keluar duluan juga gak boleh.. 😃

👑 Bu MRN
Beliau sangat menyayangi Dunan, yang selalu juara kelas, paling tidak tiga besar. Dunan juga pendiam dan penurut, tidak seperti adik perempuannya yang berantakan. Peringkat saya, entahlah, lupa 😂 Dengan perbedaan siblings yang njomplang itulah, sepertinya beliau jaga jarak dengan saya.

Continue reading Para Guru

PR Anak Bukan PR Emak

Waaa, malesnyaaa kalau ada pesan dari bu guru, mohon bantu/dampingi anak saat mengerjakan PR. PRnya berantakan dianggap tanpa pengawasan 😯

Buat satu anak difabel, waktunya mesti pas supaya dia berkenan dikoreksi, supaya dia tidak emosional. Buat satu anak saya lagi yang sregep dan agak perfeksionis, saya mesti mengatur cara agar dia tidak stress kalau tak bisa mengerjakan. Saya tak memasang target harus benar semua, asal paham saat ditanya dalam kondisi bebas, tanpa terikat pakem pelajaran, sudah cukup.

Sayangnya, saya kurang sepaham dengan sebagian guru dan kurikulum. Bagi seorang guru, 1-2 salah berarti saya tak mendampingi. Buat seorang anak, 1-2 salah sudah bikin dia stress, karena dia dimarahi kalau bertanya terlalu banyak ke gurunya. Nah, kita tak bisa pukul rata kan, target ortu atau guru bukan selalu sama dengan keinginan anak 😉

Continue reading PR Anak Bukan PR Emak

Nilai 0

Rahangnya mengeras, siap melontarkan amarah, yang selalu berhasil ditahannya. Tak pernah menyebut nama anak demi menunjukkan kesalahannya. Hanya diam, membuat kami kelimpungan sendiri. Saya salut pada pak guru ini. Tegas, fokus, baik.

“Ada yang tahu artinya tanda sukat?”

Seisi kelas hening. Tak ada yang berani menjawab.

“Kenapa bisa semua dapat 0?”

Masih hening.

Kami didiamkan cukup lama tanpa banyak pelajaran, sampai tiba waktu istirahat. Di luar, saya dan teman-teman saling bercerita reaksi orang tua masing-masing.

Continue reading Nilai 0