Tulisan seri pertama dijadikan salah satu data mengenai kebutuhan khusus, alhamdulillah. Entah mesti seneng atau gimana, karena yang dia (penulis skripsi) simpulkan kurang tepat. Moldy dianggap perempuan, dibully di sekolah umum. Padahal Moldy adalah seorang lelaki yang pernah diperlakukan tidak adil dalam pergaulan sehari-hari. Di sebuah TK umum, dialah yang dulu jadi salah satu pembully anak-anak perempuan kecil 😂✌
Baca: Antara SLB, Terapi, dan Pemerintah
Hehehe, dia belum ngerti waktu itu dan kami belum banyak tahu cara memahaminya. Ada banyak kejadian lucu. Saya yang masih panikan, dia sering bikin gara-gara, jadi saya ikutin melulu kemana pun dia melangkah. Para gadis kecil selalu lari ketakutan atau ibunya yang buruan menyelamatkan sebelum kena kejahilan Moldy 😂🙇
Suatu hari, saya berikan jajannya Moldy (karena banyak) ke seorang gadis kecil. Salahnya, saya gak minta ijin jadi Moldy merebutnya, merasa itu miliknya. Saya minta maaf sama ibunya, untung si ibu baik. Besoknya, Moldy bawa jajan lebih banyak dan dia kasikan pada si bocah yang kemarin dia sakiti. Ibunya cerita 😁 Nah kan, dia cuma jengkel, bukan jahat.
Masa menyekolahkan dia ke umum adalah masa denial, berharap dia mampu berbaur dengan mereka yang a.k.a. normal. Begitu sadar dia tak nyaman, saya mulai agak ikhlas dan mencari SLB. Siapa sangka, dia begitu bahagia ketemu sesama tuli dan langsung bersemangat sekolah ☺
Menuju empat tahun bersekolah di SLB, mulai terpetakan bagaimana suasana, masalah diskriminasi, sistem pengajaran, dan sebagainya. Ada beberapa hal yang kurang sejalan dengan hati nurani, ya lah, rasanya tak ada sekolah yang sesempurna ekspektasi semua orang. Bagaimanapun, inshaallah masih bisa dilanjutkan dengan sejumlah penyesuaian dan lapang dada ☺
Tulisan kedua ini, menyajikan kesimpulan yang sama sekali berbeda dengan tulisan pertama 😉
Continue reading Antara SLB, Terapi, dan Pemerintah (2).