Centang Biru, Centang Abu

Seorang teman memakai centang abu di whatsapp, dengan alasan tak mau diburu soal pekerjaan, entah gimana detailnya. Beberapa teman lain melakukan hal yang sama, saya menakar pekerjaannya, kemudian memakluminya. Selama pesan sampai dan dibalas sesuai kebutuhan, ya sudah, itu privasi mereka. Saya pakai centang abu, karena tak ingin tergantung, menunggu balasan. Maklumlah, emak rumahan, apa-apa ditungguin 😛 Ada yang aneh waktu pertama kali gak lagi lihat biru-biru di pesan, senyap gitu ya. Ya udin, konsekuensinya kan begitu. Nanti kalau pengen warna-warna, ya dinyalain lagi.

Masih ingat kan jaman sms beberapa abad yang lalu. Tak ada centang biru atau abu, dikira-kira aja, kemudian kita sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kalau gak dibalas, ya udah, kita tak perlu ada urusan lebih banyak. Marah-marah aja, tak perlu sampai nyetatus, kok smsku gak dibales. Gak tau juga kan kalau gawainya dicopet, hilang, atau pesan tak sampai, apalagi kalau beda operator 🤔

Atau tahu dia online, tapi pesan kita gak dibaca, gak centang biru. Atau centang biru, tapi dicuekin. Gimana coba? Cobalah, untuk biasa aja 😋

Ketahuilah bahwa pengguna centang abu juga baperan, males melihat realita bahwa ada banyak orang dapat centang biru dan dia memutuskan tidak.
Banyak kok, yang centang biru tapi gak ada balasan. Centang biru tapi trus menyangkal, kapaaan kamu kirim pesan. Untuk yang terakhir ini, jarang ya, tapi ada. Berurusan dengan teknologi, makin canggih, lha kok bikin makin baper 😔

Baru beberapa bulan ini saya males pakai centang biru, tapi tetep saya balas pesan penting teman-teman. Tiap orang yang saya kenal pun punya karakter uniknya sendiri. Selalu balas atau tak pernah balas sama sekali. Kalau penting, ya telpon lah, datang lah, pastikanlah semua sesuai dengan rencana apapun, jangan buru-buru menyalahkan teknologi, dikaitkan dengan kehanifan akhlak pula. Kenapa pemikiran jadi makin sempit begini yak, di antara fasilitas yang serba ada 🙄

Teknologi itu di tangan ya, bukan di hati. Centang abu adalah fasilitas, bisa dipilih bisa tidak. Masalah kebaperan yang mengikutinya, ya pandai-pandailah mengatur waktu dan hati, agar lebih realistis. Soal centang abu yang memungkinkan transaksi dagang jadi kacau balau, cuma menunjukkan bahwa kita sudah membiarkan diri dikendalikan oleh teknologi.

Tentang kejujuran baca atau tidak baca, jaman masih berkirim sms tanpa centang biru, apakah persepsinya bisa sama. Jika akhlak disesuaikan dengan kendali teknologi, hiks, betapa miskinnya akhlak kita 😑

Meski teknologi memperpendek jarak yang rumit, dia juga memperjauh jarak yang sederhana. Orang yang dulu akrab, ternyata malas berbalas pesan. Orang pendiam, malah ramai dalam pesan. Maya tak pernah bisa setara nyata 😉

Saya juga gak tau kok pesan saya udah dibaca apa belum. Kalau sudah dibalas, ya berarti udah dibaca. Kalau tak ada balasan, ya udahlah, tak penting untuknya, kenapa harus dipaksakan.

Kalau semua jenis pilihan dikasi pagar pembatas berdasar persepsi baper, mending gak usah pakai teknologi. Kita pakai sandi asap, surat, telegram, pager, atau apalah itu yang tak perlu berurusan dengan prasangka jujur tidaknya. Tinggal nunggu aja, anda beruntung dapat balasan atau tidak.

Gimana, masih tetep jengkel sama pemakai centang abu?

Gambar centang biru

Leave a comment