Tantrum Ah…

image

Setelah ‘launching’ antologiku yang kesekian (entah keberapa), beberapa komentar dari teman-teman masuk ke wall dan messengerku. Hihihi, nggaya nih pake kata launching kayak artis beken sangat, padahal sumbanganku cuma beberapa halaman doang. Tak apalah, beberapa dari mereka turut mendoakan supaya aku segera bikin buku solo. Amin. Kalian doakan juga yah, ben nanti ada yang gratisan lagi. Insyaallah πŸ™‚

Di buku itu, aku membahas tantrumnya si Moldy dan cara mengatasinya, serta tambahan info standar lainnya sih. Ada temanku yang berbagi cerita soal saudaranya yang juga tuna rungu dan betapa hebatnya dia. Ada juga yang ingin memelukku. Lha kok aku pengen mewek ya, baca status itu. Udah lama gak ada orang yang kasihan padaku πŸ˜† Bukan aku mau dikasihani sih, tapi gini ini jadi inget saat aku shocked dengan semua yang kujalani di awal, yang terasa begitu berat, datar kemajuannya, lamaaa *lap keringet*.

Kayaknya, aku pernah tantrum, hahaha… Berasa mau saingan sama Moldy aja nih 😁

Sebenarnya aku mau agak lebay cerita soal betapa menderitanya aku saat itu. Tapiii, berhubung aku ingat dan pernah ketemu dengan ibu-ibu lain yang jauh lebih soro daripadaku, gak jadi ah. Mengeluh itu buang-buang energi lho, beneran, gak banyak hasilnya pula.

Saat itu (hingga kini sih, tapi lebih cuek), aku merasa ‘dipermainkan’ oleh anak gantengku ini. Diajari huruf ma misalnya, keluarnya mu. Diajari ta, keluarnya emeh. Dia kuminta niru sambil lihat gerakan bibirku lho. Mata dan bahasa tubuhnya ngasi sinyal padaku, ‘Males ah’. Grhhhh…

Itu terjadi bolak-balik sampai aku mau mengibarkan bendera putih, putus asa. Kalau aku mengeluh,
“Bubun kurang apa sih nak, kenapa Moldy menolak semuanya?”
Jemi menggoda,
“Kurang sabar.”

Huaaa, langsung aku sewot dan ngomel-ngomel tiada tara, menyuruhnya menggantikan peranku: membangunkan dengan lembut, memandikan habis nego alot, menemani ke terapi, menenangkan saat tantrum di manapun, menyuapi yang sering disampluk sampai tumpah, mengejar dari gang ke gang saat dia ngambek, mengulang terapi di rumah, dll.
Aku buruan hampir nyiapin kertas perjanjian bermaterai pulak. Hihihi, emak sewot suka lebay. Jemi segera diam dan beranjak pergi, sebelum kemurkaanku membuat kepalaku bermedusa 😈

Nah, suatu hari, saat Jemi lagi ngantor, Moldy berulah gak mau niru. Saking empetnya, aku mukul-mukul kepalaku dan menendangkan kakiku ke pintu. Aku mewek putus asa, gak tahu harus gimana lagi (saat itu), semua jalan yang kuusahakan nampaknya dead end, huaaa… Semua pintu dan jendela yang menghubungkan kami dengan dunia luar, kututup rapat. Jadi ceritanya tantrum ini penuh dengan persiapan.
Alhamdulillah pintunya gak sampe jebol, berarti bukan tantrum soro, hehehe…

Saat aku kayak orang kerasukan jin ifrit itu, Moldy menangis menemaniku tantrum. Saat aku agak tenang, dia menghambur memelukku sambil terus menangis. Aku yang dasarnya gak bisa marah lama, segera berhenti. Cape juga kali, kaki dan kepalaku pegel semua. Aku heran juga dengan energi anak-anak tantrum, dapat darimanaaa coba. Aku teriak sambil emosi tinggi pun bisa bikin kepalaku pening. Aku memang gak bakat marah lama-lama. Orang ‘kerasukan jin ifrit’ itu, sooo silly, believe me 😁

Aku meluluh, kami berpelukan, dia usap air mataku seolah mengungkapkan ‘everything will be fine’. Mungkin aku masih harus lebih banyak lagi menikmati masa bersabar dan menunggu jatah keajaiban.

Setelah itu, Moldy jadi lebih lancar diajari, meski beberapa suku kata memang agak susah, butuh pengulangan lebih banyak. Wajar memang. Wait, jadi aku tantrum dulu supaya dia nurut???

What a desperado!

In fact, setelah mencoba berbagai macam cara, ternyata harus terus kuingat bahwa langkah seorang anak kebutuhan khusus itu lebih lambat daripada anak seusianya yang tak mengalami gangguan panca indera.
Diingat, diterima, disabari, ditelateni, serta terus diterapi.

Sekarang, mau tantrum lagi?
Hihihi, gak ah. Lihat anak-anak tantrum aja, aku memalingkan muka karena gak kuat nahan tawa. Padahal salah satu cara mengatasi tantrum adalah pasang wajah Rusia 😁. Aaah, susahnyaaa…

Leave a comment