(Ingin) Deaktif Forevaah (2)

Terakhir update status:

Facebook 15 Maret. Tersisa status orang-orang lama, yang usianya sepantaran saya dan bahasannya itu-itu aja. Banyak orang yang menghapus atau deaktif tanpa ditengok sama sekali. Fb masih banyak yang pakai ya, terutama buat yang kemahalan data kalau pakai ig atau gak nyaman dengan cara main twitter.

Baca: (Ingin) Deaktif Forevaah

Malesnya, fb ini nyambung aja ke wa dan ig. Jadi kalau saya berteman dengan orang sama di medsos yang beda, bisa dipastikan statusnya kayak iklan obat batuk, berulang dan sama 🙄 Yaah, saya gak cek pengikutnya siapa aja sih. Kan kabar terbaru perlu disampaikan, biar gak dicariin mlulu. Artis kan gitu, mesti apdet di semua platform.

Kenapa fb belum saya hapus aja, karena jejak tulisan dan beberapa kenangan masih perlu dibedah, hahaha, baper juga. Sepertinya, memori pun perlu Fumio Sasaki atau Marie Kondo 🙃

Semales-malesnya saya fb-an, kalau apdet status blog, nyambernya paling cepet dan ini bisa mendongkrak viewer tuwuhingati yang jalannya kayak kura-kura. Meski prinsip ngeblog insyaallah masih tetep. Kalau sekarang sih, ada yang mau baca alhamdulillah, gak mau baca ya sudah 😅 Duh jaaan, mental kompetisi yang begitu uzur.

Baca: Hurting Heed

Baca: 5 Alasan Ngeblog

Twitter tidak diketahui kapan terakhir apdet, saking lamanya 😁. Ini demi kesehatan jiwa dan raga, mengingat medsos satu ini adalah yang paling kekinian dan paling apa adanya. Ngeri sekali kalau ditelusuri di awal Juli yang penuh dengan innalillahi 😞

Setelah merasa agak stabil sekaligus pasrah, terutama ketika tetangga sebelah pas mesti isoman, saya buka twitter lagi. Kangen banyolan netijen yang susah ditemui di medsos lain 😊 Cuma ya gitu, nyarinya juga susah. Mesti siap mental menyisirnya di antara berita mencari kamar kosong, permintaan bantuan atau sebaran empati, kritik dan keluhan pada kelangkaan peran negara, cara penanggulangan sakit ini dan itu, dan semacam itulah.

Instagram 26 Mei. Sudah berulang kali punya status, tapi males post. Sesekali repost story tobukol dan beberapa ulasan tentang buku saya. Uhuy… 😘

Baca: Menyanyikan ‘Dubidubiduma’

Kalau dibanding fb dan twitter, berita dukanya lebih sedikit. Auranya beda sih. Banyakan acara masak, parade kucing lucu, sama kartun semacam tahilalats, komikin, dst.

Whatsapp. Sejak saya tak pakai centang biru, rasanya lebih nyaman dan kadang bosen kenapa sih saling pesan demi kebersamaan, mesti serumit ini 🤪 Untungnya udah gak ada lagi teman-teman yang “kenapa sih pesanku gak dibales“, padahal dia sendiri juga gitu 😏 Sekarang, gantinya wa dari lembaga ini dan itu, yang kalau tidak dibalas, dia kirim ke sms biasa atau telpon. Duhaiii, saya bukan orang kaya banget, ngapain mesti dikejar-kejar terus 😞

Baca: Centang Biru, Centang Abu

Selain sebagai media dodolan yang paling masif, wa sering jadi jujugan omelan sejumlah orang sekaligus dalil afirmasi pendapatnya. Ya Allah, saya lelah beda opini. Bukan harus sama semua sih, tapi kenapa juga mesti merasa paling bener, trus ngotot maksa semua gitu.

Telegram. Saya punya karena ada keperluan dan sekarang jaraaang sekali dipakai. Sebenarnya lebih nyaman ya, fiturnya gak banyak, tapi jadinya jarang juga yang pakai. Mungkin nasibnya akan seperti wechat dan lines yang cuma sebentar aja.

Gimana lagi ya, ini kan bagian dari teknologi yang mau tak mau harus diterima paketnya atau ditinggalkan saja, dengan resiko: yakin bisa? 🤣 Apalagi tugasnya anak-anak bergantung dari situ.

Kalau habis dari fb dan terutama twitter, selalu ada ide untuk menulis. Kalau dari ig, idenya untuk ikut lomba nulis atau bikin kue, tapi jarang eksekusi 🙈

Sudah, gitu aja.

Gambar instagram

Gambar whatsapp

4 thoughts on “(Ingin) Deaktif Forevaah (2)

Leave a comment