Celoteh Shena (7)

“Bun, aku tak ingin ibu yang lain. Aku mau Bubunku aja,” katanya serius.

Uhuy 😘

“Kenapa kok tiba-tiba bilang gitu? Kan Bubun gak pergi kemana-mana.”

“Tadi aku lihat potongan film yang menceritakan tentang ibu dambaan anak-anak. Si ibu ini mengatakan kalau anaknya menang lomba, mereka akan makan di luar untuk merayakannya. Ternyata anaknya gak menang dan mereka tetap makan di luar.”

“Hmmm…”

“Lalu ada yang komen, gimana cara dapat ibu seperti itu. Dalam hati, aku lho sudah punya ibu kayak gitu, bahkan lebih asyik,” katanya antusias.

Kepala saya mau meledak, lalu biasa aja 🙃 Apalagi waktu tahu bahwa itu cuplikan adegan di salah satu drakor, kalau gak salah judulnya Hometown cha cha cha. Bukan anti sih ya, tapi…begitulah, hahaha.

Baca: Revolusi Menuju Korea (2)

“Yipiiee, Bubun keren,” akhirnya saya merespon ceritanya. Kalau sedang bijak, saya menjawab alhamdulillah. Tergantung cuaca hati saat itu 😅

Andai saja dia tahu, bahwa pilihan untuk merayakan kemenangan ataupun kekalahan itu terbentuk dari luka pengasuhan yang tak ingin saya torehkan lagi. Setiap pencapaian naik maupun turun itu perlu disyukuri, sebagai pondasi berpijak pada tantangan lain yang lebih besar. Itu rencana besarnya.

Rencana sederhana yang barangkali sering terlewatkan di antara harapan akan masa depan anak yang cemerlang melalui deretan prestasi, adalah penerimaan dan penghargaan. Anak sedang tumbuh bertahap menjadi remaja lalu manusia dewasa. Kalau bukan keluarganya dulu yang memberinya penerimaan dan penghargaan akan dirinya secara utuh, lalu siapa lagi 😉

Gambar ibu

Leave a comment