Tidak ndhudhul medsos adalah salah satu bagian dari kesehatan mental di masa pandemi dan proses digitalisasi yang semakin embuh. Efek dahsyatnya baru terasa ketika uninstall semua jenis medsos yang tak memiliki kepentingan dengan pekerjaan utama.
Pekerjaan utama sebagai simbok rumahan yang sesekali halu-halu bandung π
Baca: (Ingin) Deaktif Forevaah (2)
Pastinya, pulsa untuk berselancar hanya sampai sekitar setengah, dibanding saat masih aktif bermedsos. Lumayan ngirit alhamdulillah. Sementara ini masih disponsori kuota gratis atas nama pemerintah, entah juga kalau nanti solo π
Berikut lika-liku pergi dari medsos yang baru terasa toksik, ketika saya ambil jeda darinya.
Facebook. Sudah beberapa kali saya deaktif. Sudah lama saya tak pakai aplikasi, selalu via chrome. Menemukan tombol deaktif pun untung-untungan, karena lupa di bagian mana atau sinyal tetiba mbambet, jadi halaman yang dimaksud tak segera muncul.
Kalau sudah muncul, nanti ada pilihan kenapa kok kamu deaktif, kamu mau gak dikabari dalam periode tertentu, nanti kalau mau masuk lagi gampang kok tinggal login π€¨ Alasan kenapa deaktif itu ada segambreng, silakan pilih mana yang sesuai. Sayang lupa skrinsyut ππ» Ada beberapa yang saya ingat:
βͺ I don’t find Facebook useful
βͺ I have a privacy concern
βͺ Other, please specify (ngisi kolom)
Alasan kedua selalu saya pilih biar gak diuber kenapa-kenapa. Meski gratis, betapa data kita begiiitu berharganya buat mereka. Buktinya, mau masuk gampang, mau keluar susah. Teman saya hampir putus asa gak jadi deaktif, karena susah untuk menemukan tombol yang dimaksud. Yaaah, memang mesti berulang kali π
Baca: 5 Alasan Ngeblog
Instagram. Ini kan sekroni sama facebook. Baca-baca dari satu kolom opini, dia aplikasi yang paling latah meniru fitur aplikasi lain demi merangkul semua khalayak. Jadi gak eksklusif dan unik lagi kan.
Yang nyebelin, meski kalian bikin privat akun, masih ada kemungkinan foto bocor di area lain. Tahu dong ya, di zaman digital begini privasi adalah mitos.
Ketika saya log in via chrome, ada kode OTP yang dikirim ke nomer hp. Jadi kalau log out trus log in lagi, ya pakai kode OTP lagi. Kan ini sangat embuh. Alasannya demi keamanan. Berhubung saya males lihat barisan linimasa, hanya online beberapa menit lalu keluar dengan kepala pening dan sementara belum memutuskan untuk balik lagi π
Padahal ini lagi rame-ramenya orang minta follow dan like untuk postingan menjelang hari disabilitas internasional. Bukan maksud tidak mendukung, tapi mohon dimaklumi juga keinginan saya untuk “puasa” π
Dulu, log out nya gampang. Sekarang tombol itu agak tersembunyi. Paling dalam jangka selanjutnya, bisa mbambet juga kayak facebook. Secara, mereka sebolo. Untuk deaktif, saya belum kepikiran sih. Mungkin akan direncanakan π
Twitter. Tentu saja ini yang paling realistis dengan opsi yang jauh lebih bebas daripada yang lain, dengan input pengetahuan yang lebih bermakna. Hanya kenal beberapa orang secara nyata dan kebetulan mereka juga gak cocok twitteran π
Cuma ya itu, pilihan infonya terlalu banyak dan sistem pencariannya tidak sesensitif google. Algoritma nyambungnya ke personal, bukan postingan. Kalau saya kepoin seseorang meski gak follow, yang muncul di notifikasi email ya updatenya mereka π
Sementara mencari info thread dengan kata kunci tertentu, seperti nyari jarum dalam jerami. Kalau disimpen atau dishare itu kok ya banyak banget atau banyak kontra yang bikin bingung. Kalau gak disimpen, kadang butuh juga. Yawes, let it go let it go *nyanyi
Para penggunanya antara lain adalah para militan yang super canggih dalam membedah info terdalam. Kalau komen macam-macam dan sedang “beruntung”, semua aib kita bisa dibedah sampai tuntas tas π Banyak yang tak paham cara main ini, jadi berasa santai komen kayak di facebook dan instagram. Begitu linimasanya yang berisi uhuk-uhuk itu diulik, wes gak berani muncul lagi π Beda dong, sama bala instagram yang sering melibatkan polisi masalah pencemaran nama baik atau kata-kata embuh yang dianggap sungguh menyakitkan π€ͺ
Meski privasi adalah mitos, kalau dibandingkan dua medsos sebelumnya, twitter lebih independen dan personal. Kalau kita bukan penggunanya, kita gak bakalan bisa buka thread yang dishare oleh siapapun. Harus log in atau sign up dulu. Kalau teman sekroni itu, hanya nawari aja mau masuk apa gak, tapi kita tetap bisa lihat postingan tanpa tindakan. Mereka memang takut sekali kehilangan kamu, eh, sangat mencintai (data) penggunanya π
Eh, sudah panjang aja. Sekian dulu kisah deaktifnya. Mari kita kembali pada kesibukan masing-masing π
Gambar facebook
Gambar instagram
Gambar twitter
ayooo deaktif aja, demi kualitas hidup yang lebih sehat. *haha provokator
LikeLike
Ayooo, ayooo π
LikeLiked by 1 person